Saya punya seorang saudara kembar yang saat ini sudah tinggal berjauhan dengan saya. Dan saya tiba-tiba teringat sebuah kejadian waktu saya masih tinggal bersama dia. Saat itu sore-sore sepulang jam kantor saya mampir ke kantornya yang berlokasi di salah satu pusat perkantoran elit di Singapore untuk pulang bersama.

Dengan berseri-seri dia menjumpai saya sambil menenteng sebuah kantong belanja bertuliskan DC. Sayapun segera tahu dia baru saja membeli kaos Superman keluaran DC Shop. Harap maklum… kita berdua sesama penggemar superheroes sejak kecil dan Superman merupakan salah satu tokoh favorit kita berdua (dan tentunya jutaaan penggemar Superman lainnya di seluruh penjuru dunia).

Lalu dia mengeluarkan kaosnya sambil menceritakan bahwa kaos yang baru dibelinya adalah model terbaru keluaran DC.  Hmm… harus saya akui kaosnya memang bagus, sayapun dibuat ngiler melihatnya. Dan melihat dia sudah membawa barang bawaan cukup banyak, sayapun menawarkan bantuan untuk membawakan kaos barunya.

Singkat cerita kitapun segera meluncur pulang menggunakan taksi. Berhubung perjalanan ke rumah cukup jauh, saya letakkan barang belanjaan itu di jok mobil tepat di samping saya dan sayapun larut dalam obrolan sepanjang perjalanan hingga akhirnya supir taksi membuyarkan percakapan kita berdua. “Sudah sampai…” katanya. Sayapun segera membayar dan meninggalkan taksi untuk berjalan menuju rumah.

Obrolan tetap dilanjutkan sampai kita memasuki rumah. Setelah tiba di kamar, tiba-tiba dia mengejutkan saya dengan pertanyaan: “Eeh… kaosnya mana?” My God… saya lupa!! Waktu turun dari taksi saya lupa membawa serta kaos barunya! Seketika itu juga saya merasa lemas, saya baru saja melakukan sebuah kesalahan konyol. “Sorry…” jawab saya setelah menjelaskan keteledoran tersebut sekalipun saya tahu sebuah sorry tidak cukup untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi.

Saat itu perasaan ini bercampur aduk; antara sedih, kecewa, dan yang terutama perasaan bersalah. Dan sayapun siap untuk menerima omelan dari kembaran saya atas kesalahan ini. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan, dia malah menjawab “Ya udah… gak apa-apa…” Perkataannya itu terasa seperti air sejuk di tengah padang gurun… begitu menghibur dan menenangkan hati. Lalu saya mengambil inisiatif untuk mengontak perusahaan taksi yang saya tumpangi dan meminta tolong untuk segera menghubungi saya kalau mereka menemukan sebuah kaos superman yang masih baru.

Too bad saya tidak meminta bill taksi tersebut, saya juga tidak mencatat siapa nama supir taksinya. Jadi saya hanya bisa berharap sambil menunggu kabar tanpa ada kepastian. Keesokan harinya perusahaan taksi itu menghubungi saya, dan ternyata mereka tidak menemukan kaos tersebut. Mereka sudah mencoba mencari… tapi informasi yang saya berikan kurang memadai, lagipula barang seperti itu akan dengan sangat mudah diambil siapapun termasuk penumpang berikutnya yang menggunakan taksi itu setelah saya.

Saya pasrah… tidak seperti movie berjudul Superman Returns yang pernah saya tonton dimana Superman kembali setelah menghilang beberapa lama, kali ini Superman didn’t return. Sampai hari ini kaos itu tidak pernah kembali alias raib entah kemana.

Saya percaya dalam hatinya, saudara kembar saya ini pasti kesal. Bagaimana tidak… baru saja beli kaos favorit, belum sempat dipakai… eeh malah hilang. Namun dalam peristiwa ini justru dia dapat menunjukkan kebesaran hatinya. Sebagaimana hidup ini adalah pilihan, dia memilih untuk memaafkan dan melupakan apa yang terjadi. Dia tahu dengan pasti bahwa tuduhan dan kemarahan tidak akan membantu kembalinya kaos Superman namun sebaliknya akan membuat saya tertekan, merasa tertuduh dan yang pasti: terluka.


Setiap pertengkaran pasti akan menimbulkan luka dan goresan di hati sekalipun kita dapat berdamai kembali dengan orang yang bertengkar dengan kita. Barang yang hilang bisa dibeli lagi, tapi hati yang luka bagaimana cara mengobatinya? Itulah sebabnya Richard Carlson menulis sebuah buku best-seller berjudul Don’t Sweat The Small Stuff yang intinya kira-kira menganjurkan untuk tidak meributkan hal-hal kecil. Dan pada dasarnya semua masalah itu kecil… jadi hindarilah pertengkaran dalam setiap masalah.

Inilah yang saya terapkan dalam hubungan saya selama puluhan tahun saya hidup bersama saudara kembar saya. Dan saya percaya ini juga yang harus diterapkan dalam hubungan rumah tangga antara suami-istri. Banyak orang berkata bahwa pertengkaran dalam rumah tangga itu adalah bumbu penyedap yang akan mempererat tali kasih antara suami dan istri. Saya pribadi tidak sependapat dengan pandangan ini karena firman Tuhan tidak pernah mengajarkan hal yang demikian. Sebaliknya, Tuhan mengajarkan kita untuk hidup berdamai, saling mengasihi, saling memaafkan dan bukan menggunakan pertengkaran untuk mempererat tali kasih.

Dengan menerapkan hal ini, saya menikmati hubungan yang paling harmonis sedunia dengan saudara kembar saya. Suatu hubungan yang banyak membuat iri sekaligus kagum orang lain. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali saya bertengkar dengannya karena memang kita betul-betul tidak pernah bertengkar. Saya membuktikan bahwa pertengkaran bukanlah bumbu penyedap melainkan racun yang justru dapat membunuh sebuah hubungan. Percayalah… it’s not worth to sweat the small stuff

“Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya.” (1 Petrus 3:10-11)


http://kalam.comuf.com/?p=241